Mengungkap Tabir Predator Sungai Palu

PALU- “Buaya Darat” ungkapan bernada negatif itu biasanya disematkan kepada orang yang suka gonta-ganti atau tidak setia kepada pasangannya.

Namun dalam kehidupan di habitatnya, Buaya dikenal sangat setia kepada pasangannya.

Diketahui, Buaya atau Crocodylus Colosus, merupakan reptil bertubuh besar yang habitatnya berada di sungai, rasa, muara air payau. Predator yang dikenal ganas tersebut, berkembang biak dengan cara bertelur.

Di Provinsi Sulawesi Tengah, kasus sengketa antara Buaya dan manusia, bukan hal yang baru lagi.

Begitupun di Kota Palu, konflik antara Buaya dan manusia kerap terjadi. Bahkan beberapa kasus gigitannya berbuah kematian.

Berdasarkan hal itu, media ini tertarik untuk mengulas eksistensi maupun sepak terjang salah satu Predator ganas yang diyakini telah ada sejak ribuan tahun silam.

Tiba di tujuan, waktu menunjukan pukul 10.25 menit. Suasana Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tengah yang terletak di Jalan Moh Yamin Kota Palu, Senin (30/10/2023) terlihat lengang.

Masuk melalui pintu belakang kantor, tiga sosok pria terlihat lagi asyik mengobrol sambil melihat ke arah penangkaran sementara Buaya. Berdindingkan tembok yang separuh infrastukturnya terbalut jaring terbuat dari besi.

Melihat kedatangan media ini, salah seorang pria yang menggunakan seragam batik korpri, menyambut dengan senyuman. Sambil menjabat salam, ia mengajak untuk masuk ke dalam ruangannya.

Sebelumnya, media ini telah menghubungi pihak BKSDA Sulteng untuk melakukan wawancara terkait polemik Buaya di Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu.

Ialah Plt Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tengah, Mulyadi Joyomartono. S.P. M.Hut. Pria ramah ini mulai mengisahkan sekelumit pengetahuannya terkait Buaya.

Berdasarkan hasil penelitian, Buaya kerap melakukan aktifitas atau mencari makan pada malam hari. Intenitas atau selera makan siang predator itu, tidak serakus yang dibayangkan.

Sebab, waktu makannya tidak seperti manusia dengan intenitas 3 kali dalam sehari. Buaya akan mengisi perutnya kembali setelah jedah waktu selama sepekan setelah mengkonsumi daging mentah.

Data monitoring di lapangan Tahun 2019, jumlah Buaya yang mendiami sungai di Kota Palu, sebanyak 36 ekor Buaya dewasa. Dengan estimasi ukuran tubuhnya sepanjang 1 meter keatas.

“Itu kategori Buaya dewasa. Untuk Buaya yang masih kecil tidak dihitung. Cara menghitungnya dilakukan pada malam hari. Ada cara untuk melihat Buaya pada malam hari. Diantaranya menggunakan alat penerangan atau senter. Sebab mata dari hewan itu jika terkena cahaya senter akan memantulkan cahaya. Seperti mata kucing,” sebutnya sambil memperbaiki letak gagang kacamatanya.

Olehnya, ia mengimbau kepada masyarakat untuk tidak melakukan aktifitas di sungai maupun pantai pada malam hari. Sebab pada waktu tersebut, Buaya mencari mangsa.

Dengan munggunakan dialek khas pribumi, Mulyadin menerangkan bahwa ada kemungkinan habitat Buaya di Sungai Palu akan bertambah karena adanya proses perkawinan dan bisa menghasilkan banyak telur.

Namun katanya, ciri khas predator tersebut, memakan sesamanya atau bahasa kerennya disebut Kanibal.

Contohnya, induk Buaya akan melindungi anaknya dengan memasukannya ke dalam mulutnya. Hal itu guna menghindari serangan Buaya jantan yang akan membunuh dan menjadikannya santapan. Sehingga laju pertumbuhan habitat Buaya di sebuah wilayah, tidak signifikan.

“Jika jumlah Buaya di Sungai Palu ini telah mencapai ratusan ekor, tentunya dalam jarak beberapa meter saja, kita akan menjumpainya,” jelasnya menjawab pernyataan sekaitan rumor beredar bahwa di Sungai Palu telah dihuni ratusan Buaya.

Tim Reaksi Cepat Penanggulangan Hewan Liar BKSDA Sulteng

Seperti yang telah dijelaskan di atas, konflik antar Buaya dan manusia kerap terjadi di semua wilayah Provinsi Sulawesi Tengah.

Dalam hal ini, terdapat Satgas BKSDA atau Wild Rescue Unit (WRU) untuk menaklukan Buaya. Dengan jumlah personil sebanyak 9 orang.

Semua tim Satgas WRU, telah menjalani pelatihan khusus dalam menjinakkan Buaya. Dengan call center atau nomor aduan konflik satwa maupun perambahan liar (081145211717).

Menurut Mulyadin, banyak laporan dari masyarakat terkait aktifitas Buaya yang kerap mengganggu ketentraman masyarakat.

Diantaranya di wilayah Kabupaten Donggala. Tepatnya di Desa Kabonga. Terdapat Buaya putih yang meresahkan warga. Olehnya BKSDA diminta untuk menangkap predator tersebut.

Kemudian Buaya besar yang masuk ke darat di pesisir Teluk Palu. Wilayah Tonggolobibi, Siniu hingga Ampna dan Togean. Sementara di Kota Palu sendiri, konflik Buaya dan manusia kurang lebih 10 kasus.

Hingga saat ini lanjut Mulyadi, BKSDA tidak memiliki penangkaran sendiri. Hanya tersedia penangkaran sementara. Dengan kapasitas bisa menampung sebanyak 4 hingga 5 ekor saja.

Buaya yang telah berhasil diberengus, akan ditampung di penangkaran Buaya yang terdapat di Desa Beka, Kabupaten Sigi.

Usai melakukan wawancara, media ini melihat langsung kpenangkaran sementara Buaya di halaman belakang Kantor BKSDA Sulteng.

Terlihat 4 ekor Buaya berukuran dewasa ditempatkan terpisah. Keempat predator tersebut tidak seagresif seperti apa yang disaksikan di berbagai acara TV, YouTube maupun media lainnya. Mungkin karena terdapat dinding pemisah, atau lagi kurang selera makan.

Dangan keberadaan Buaya yang mendiami Sungai Palu maupun berada di Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, bisa disikapi dengan baik oleh segenap masyarakat.

Sehingga konflik antara dua mahluk yang notabene mahluk ciptaan tuhan, namun berbeda fisik dan naluri tersebut, bisa diminimalisir.**(FN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *