PALU- Saat pertama kali melihatnya nongkrong di salah satu warung yang tak jauh dari Kantor Wali Kota Palu, sosok satu ini nampak riang mendendangkan lagu dengan iringan gitar akustik. Dari mulutnya tak henti-henti berceloteh dengan dialek khas pribumi.
Perawakannya mungil dan supel. Namun ada yang menarik dari kisah hidupnya. Olehnya redaksi tersentuh untuk menceritakan sedikit kegetirannya melalui guratan tinta.
Teman seprofesi biasa memanggilnya dengan nama Mangge Emil Karambangan. Lelaki paruh baya ini berasal dari Desa Pinembani, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.
Penyematan Karambangan di belakang namanya bukan tanpa sebab. Hal itu karena Mangge Emil piawai dalam memainkan irama Karambangan yang merupakan musik tradisional Provinsi Sulawesi Tengah dengan menggunakan Gitar akustik.
Namun dalam mengamen, tak jarang Mangge Emil juga mendendangkan lagu-lagu yang populer di blantika musik tanah air.
Awal mula dirinya terjun di dunia ngamen di Kota Palu, bermula saat dirinya pulang dari Manado pada tahun 1987. Berbekal sebuah gitar akustik, Mangge Emil berinisiatif mencari penghidupan dengan mengibur masyarakat dari rumah ke rumah. Bahkan hingga hajatan pesta pernikahan.
Mulai pagi hingga malam hari, ia mulai menyusuri jalan untuk menjajakan suaranya kepada para pelanggan yang makan di warung. Jika jarak lokasi mengamen agak jauh, ia biasanya pergi menggunakan jasa ojek.
Tak jarang dirinya menerima perlakuan kurang menyenangkan dari masyarakat saat mengamen. Namun hal itu tidak membuatnya patah arang. Ia tetap kekeh dan percaya diri untuk mendendangkan suara diiringi petikan gitar untuk menghibur khalayak ramai.
Dikisahkannya, pada tahun 2003 silam di lokasi Taman Ria, Kota Palu bagian barat, ia pernah dipalak oleh sejumlah pemuda. Mereka berusaha mengambil gitar miliknya. ia berupaya melakukan perlawanan. Alhasil, gitar andalannya rusak akibat dihantamkan kepada pemuda yang menyerangnya.
“Hasil dari mengamen tiap hari tidak menentu. Sebelum gempa bumi 28 September, kadang bisa dapat hingga beberapa ratus ribu. Namun setelah itu, paling banyak biasanya hanya seratus ribu bahkan kurang,” sebutnya.
Kala usai mengamen pada malam hari, Mangge Emil terkadang tidur di emperan toko, pos monyet hingga sang Surya menampakan diri. Hal itu ia lakukan karena jarak dari tempatnya ngamen jauh dari lokasi kostnya.
Akan tetapi ia menjalaninya dengan hati yang tabah. Kerikil-kerikil tajam yang datang menghadang, tak menyurutkan langkahnya untuk menyusuri kerasnya kehidupan. Sebab jauh di relung hatinya, tertancap sebuah asa untuk mengais rezeki agar dapurnya tetap mengepul.
Bahkan badai asmara yang menerpanya dengan kepergian istrinya meninggalkan ia dan buah hatinya, justru membuat dirinya tidak patah semangat. Selama beberapa tahun ia dan tiga putrinya tinggal di sebuah kost-kostan di wilayah Kota Palu.
Dari hasil mengamen, ia mampu menyekolahkan tiga orang anaknya. Bahkan salah seorang putrinya selesai mengenyam bangku perkuliahan.
Seiring berjalannya waktu, wilayah mengamennya semakin sempit. Hal itu karena mulai bermunculan para pengamen yang hadir di Kota Palu.
Olehnya, ia berinisiatif mengamen di SPBU yang ada di Kota Palu. Namun saat ini juga hadir beberapa pengamen di tempat tersebut. Sehingga ia kembali mencari peruntungan di warung.
Kini, roda nasib belum mengizinkannya untuk beristirahat dari hiruk pikuknya dunia. Meskipun ketiga anaknya telah berkeluarga, namun ekonomi keluarga anaknya juga masih memprihatinkan.
Ia masih harus menyusuri teriknya mentari dan dinginnya malam untuk mencari sesuap nasi. Dengan menjajakan tembang kepada masyarakat Kota Palu.
Meskipun kini ia menumpang tidur bersama anak dan menantunya di Jalan Tururuka Kota Palu, Mangge Emil masih menyisahkan sebahagian rezekinya untuk ketiga buah hatinya.
“Walaupun ketiga anak saya sudah kawin, tapi saya tidak tega untuk membiarkan mereka begitu saja. Saya tetap kasih mereka uang,” ungkap Mangge Emil dengan aksen khas Kaili.
Terpatri dalam sanubarinya untuk memegang teguh sebuah prinsip yang hingga saat ini tetap dilakoninya. Yaitu enggan untuk meminta-minta kepada warga.
Dalam kamus kehidupannya, ia mengaku lebih mulia melantunkan nada melalui gitarnya dibanding harus mengangkat tangannya untuk mengemis.
Selamat berjuang Mangge Emil Karambangan. Walaupun nasibmu tak seindah untaian lirik musik yang engkau dendangkan, namun semangat pantang mundurmu untuk bertahan hidup patut diacungi jempol.**(FN)