Penulis: Firmansyah
KAREBA SULTENG, PALU- Duaaarrrr ! Publik dikejutkan dengan pernyataan Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid saat kegiatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dalam pernyataannya, Gubernur Sulteng menyebut bahwa terjadi ketimpangan terhadap Dana Bagi Hasil (DBH) Provinsi Sulawesi tengah dari sektor Pertambangan.
Dalam hal ini, Gubernur mengaku bahwa pemerintah provinsi hanya menerima Dana Bagi Hasil (DBH) Pertambangan, per-tahunnya sebesar Rp 200 miliar.
Sementara, Sulawesi Tengah merupakan salah satu kontributor terbesar penerimaan negara dari sektor tambang, termasuk industri Smelter, dengan sumbangan kurang lebih Rp 570 triliun.
Di sisi lain, kondisi daerah Provinsi Sulawesi tengah “Hancur-hancuran” akibat aktivitas pertambangan. Namun tidak memberi dampak yang siginifikan bagi pendapatan daerah.
Menyikapi problematika tersebut, Guru Besar Ekonomi Internasional FEB Universitas Tadulako, Dr. Moh Ahlis Djirimu, P. Hd menyebut jumlah DBH Provinsi Sulawesi Tengah Rp 200 milar terbilang kecil. Sebab Provinsi Sulawesi Tengah tidak diberikan kewenangan luas untuk mengelola pemerintahannya sendiri.
Seperti Provinsi Papua dan Aceh, dua daerah tersebut memiliki UU Otsus, Nomor 21 Tahun 2021. Sehingga Dana Bagi Hasil Pertambangannya besar.
Untuk diketahui, Otonomi Khusus (Otsus) merupakan undang-undang yang memberikan kewenangan lebih luas kepada daerah-daerah tertentu, seperti Papua dan Aceh, untuk mengelola urusan pemerintahannya sendiri.
Undang-undang ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan peningkatan pemerataan pembangunan di daerah tersebut.
Suatu daerah bisa mendapatkan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) jika memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Syarat-syarat ini mencakup aspek sejarah, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta kebutuhan untuk mencapai pembangunan yang lebih merata dan berkelanjutan.
Secara garis besarnya, daerah yang mendaptkan UU Otsus diantaranya memiliki sejarah perlawanan, perpecahan, atau konflik yang berpotensi mengancam persatuan dan kesatuan nasional.
Memiliki karakteristik politik yang unik, seperti adanya gerakan separatis, ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat, atau ketidakstabilan politik yang dapat mengganggu stabilitas nasional.
Kondisi ekonomi daerah tersebut kurang maju dibandingkan daerah lain, seperti tingkat kemiskinan yang tinggi, pengangguran, atau ketergantungan pada sumber daya alam yang terbatas.
Terdapat karakteristik sosial dan budaya yang unik, seperti adanya kelompok masyarakat asli yang terpinggirkan, perbedaan etnis, agama, atau bahasa, atau adanya praktik-praktik adat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai nasional.
Daerah tersebut mungkin memerlukan perhatian khusus dari pemerintah pusat untuk mencapai pembangunan yang lebih merata dan berkelanjutan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi.
Intinya, UU Otsus memberikan kewenangan khusus kepada daerah yang bersangkutan, seperti hak untuk menentukan kebijakan sendiri, melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat, atau mengelola sumber daya alam secara lebih mandiri.
Jika menelisik dari aspek sejarah, Provinsi Sulawesi Tengah memiliki catatan kelam konflik yang berpotensi mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Seperti tragedi di Bumi Sintuwu Maroso pada era 90-an.
Provinsi Sulawesi Tengah sebelumnya juga dikenal sebagai wilayah “Teroris”. Dimana terjadi beberapa kasus penembakan, pengeboman oleh oknum yang disinyalir kecewa dengan kebijakan pemerintah.
Anggota Komisi II DPR RI, Drs. Longki Djanggola dalam pernyataannya di sejumlah media beberapa waktu lalu, mengungkapkan kekecewaannya terhadap minimnya perhatian pemerintah pusat terhadap daerah penghasil tambang seperti Sulteng.
Dalam kutipan yang dirilis media, mantan Gubernur Sulteng tersebut berkata “Apakah kita harus menjadi gerombolan dulu baru diperhatikan? Jangan sampai pemerintah daerah dibiarkan tanpa kepastian kontribusi fiskal dari korporasi-korporasi besar yang mengambil sumber daya daerah,”.
Negara jangan berdalih jika DBH Provinsi Sulawesi Tengah dikaji kembali, akan menjadi boomerang bagi daerah lain untuk menuntut hal yang sama. Sudah selayaknya daerah mengecap hasil sumber daya alamnya. Demi kesejahteraan masyarakat.
By the way, tidak berselang lama setelah curhatan Gubernur Sulteng viral di media mainstream maupun jagat Maya, ia akhirnya mendapat telepon khusus dari pihak Bappenas. Sebagai langkah awal, Kepala Bappenas meminta Gubernur Anwar menyusun kajian resmi untuk pembahasan di tingkat nasional.
Hal ini menjadi secercah cahaya membuka tirai kelam untuk memperoleh porsi DBH yang lebih proporsional.
Alangkah bijaknya jika pemerintah pusat mempertimbangkan ungkapan bernada kecewa dari Gubernur Sulawesi Tengah. Hal itu dilakukannya bukan semata-mata hanya untuk mencari panggung saja. Namun menjadi sebuah tanggung jawab yang harus diemban sebagai pimpinan daerah.
Sementara Kabupaten Morowali, sebagai wilayah terbesar di Sulawesi Tengah dalam explorasi hasil tambang, diperkirakan mampu bertahan hingga 10 tahun kedepan. Nah ! Jika semuanya habis dikuras, tersisa nantinya hanya kawasan yang pernah dilontarkan Gubenur Sulawesi Tengah dengan kalimat “Hancur-hancuran”. Namun tidak berdampak signifikan terhadap pendapatan daerah.
Semoga apa yang dikemukakan pemerintah pusat melalui Kepala Bappenas, bukan isapan jempol belaka. Sehingga negara lebih bijak dan bisa mempertimbangkan kontribusi fiskal untuk Provinsi Sulawesi Tengah, dengan melakukan kajian ulang Dana Bagi Hasil dari sektor Pertambangan.
Dan akhirnya masyarakat Sulawesi Tengah menanti pelangi dibalik tirai kelam Dana Bagi Hasil Pertambangan.**