Perlukah Tindakan Represif Atasi Geng Motor dan Begal di Kota Palu ?

Rapat koordinasi DPRD Palu bersama Polresta Palu berbagai waktu yang lalu/foto: Firmansyah

Penulis: Firmansyah

KAREBA SULTENG, PALU- Aksi kejahatan jalanan beberapa tahun terakhir menjadi trending topik di kalangan masyarakat Kota Palu.

Tawuran antar geng motor dan aksi Begal kerap mewarnai pemberitaan di media mainstream maupun dunia Maya.

Dalam rapat koordinasi antara DPRD Kota Palu bersama Polresta Palu belum lama ini, terungkap bahwa ada 40 geng motor yang eksis hingga saat ini.

Untuk kasus kejahatan Begal tercatat sebanyak 9 kasus. Delapan diantaranya telah ditangani oleh aparat kepolisian.

Aksi tawuran antar geng motor di Kota Palu sering menelan korban. Beberapa diantaranya terkena busur panah. Bahkan tahun sebelumnya, salah seorang anggota geng motor di Kota Palu tewas dihadiahi timah panas saat menyerang aparat menggunakan senjata tajam.

Sementara para pelaku Begal tak segan-segan menganiaya korban dengan menggunakan senjata tajam.

Seperti yang terjadi di wilayah barat Kota Palu baru-baru ini. Dimana salah seorang warga Kelurahan Kamonji mengalami luka sobek di wajah dan punggungnya saat tiga pria berboncengan sepeda motor diduga pelaku Begal, menebasnya menggunakan golok, setelah berusaha merampas ponsel korban.

Sebelumnya juga pernah terjadi aksi perampasan terhadap dua orang mahasiswi yang membeli makanan di Jalan Towua. Saat melintas di Jalan Karanjalemba yang minim penerangan, para begal berusaha merampas tas korban, dan akhirnya 2 mahasiswa tersebut jatuh ke dalam selokan.

Warga Kota Palu dibayangi rasa cemas saat hendak beraktivitas pada malam hari. Ada kekhawatiran akan menjadi sasaran kejahatan jalanan. Apalagi saat melintas di jalanan senyap dan minim penerangan.

Perlukah Tindakan Represif Untuk Mengatasi Geng Motor dan Begal ?

Dikutip dari “mbah google” Anggota geng motor di bawah umur dapat dijerat pidana, tetapi dengan mekanisme yang berbeda dari orang dewasa.

Undang-Undang SPPA mengatur prinsip-prinsip khusus dalam penanganan anak yang melakukan tindak pidana, dengan tujuan melindungi hak-hak anak dan memprioritaskan rehabilitasi.

Dalam penanganan aksi tawuran geng motor, pihak aparat penegak hukum hanya melakukan tindakan reprentiv. Hal itu disebabkan mayoritas anggota geng motor, masih dibawah umur.

Hal itu tentunya tidak memberikan efek jera terhadap para geng motor. Bahkan aksi mereka disinyalir akan semakin menjadi-jadi.

Jika melihat ke daerah lain, langkah mengejutkan diambil Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, berencana agar geng motor dibina ala militer.

Inisiasi tersebut sedikitnya bisa memberikan efek jera bagi para geng motor. Sehingga diharapkan kedepannya pelaku merasa jerih dan enggan untuk mengulangi perbuatannya.

Tentunya hal itu dikembalikan lagi ke Pemerintah daerah. Apakah perlu untuk mengikuti rencana dari KDM atau masa bodoh dengan gangguan kamtibmas di wilayahnya.

Namun yang lebih penting lagi, peran para orang tua dalam mengawasi dan membina anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam kegiatan yang bersifat negatif.

Aksi begal juga perlu tindakan represif, minimal pelaku dilumpuhkan dengan hadiah timah panas untuk memberikan efek jera, agar nyali para pelaku lainnya menjadi ciut untuk berbuat hal serupa.

Dikutip dari media Tempo.co, edisi 19 Juli 2023, dasar hukum tindakan tembak di tempat terhadap pelaku kriminal tertuang dalam Undang-Undang Kepolisian Pasal 16 ayat 1 huruf i dan Pasal 16 ayat 2, serta Pasal 18 ayat 1. Dalam KUHAP diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a angka 4; Pasal 7 ayat 1 huruf j; serta dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009.

Pasal 18 ayat 1 yang berbunyi: “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.

Yang dimaksud bertindak menurut penilaiannya sendiri yakni suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota polisi harus mempertimbangkan manfaat dan resikonya dari tindakannya, serta betul-betul untuk kepentingan umum.

Tahapan penggunaan senjata api diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Olehnya, pada Pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa terdapat enam tahapan penggunaan kekuatan senjata api, antara lain pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, keras, tumpul, dan kendali dengan senjata api atau alat lain.

Tentunya tindakan represif terhadap pelaku begal di Kota Palu, merupakan kebijakan dari para penegak hukum. Apakah diterapkan atau tetap mengedepankan penindakan humanis.

Pemerintah daerah juga diharapkan tidak berpangku tangan dalam hal ini. Sinergitas antara yudikatif, legislatif dan eksekutif sangat diharapkan, guna meminimalisir aksi kejahatan jalanan.

DPRD Kota Palu bersama Polresta Palu dan instansi terkait Pemkot Palu rencanya akan kembali menggelar rapat koordinasi membahas upaya penanganan aksi kejahatan jalanan.

Hal yang sama juga dilakukan Pemerintah Kota Palu melakukan rapat koordinasi bersama dalam upaya pengamanan aksi geng motor dan begal.

Kabar baiknya, akhir-akhir ini tawuran antar geng motor mulai jarang terlihat di jagat maya maupun pemberitaan media konvensional. Namun hal itu jangan dijadikan barometer atau acuan bahwa Kota Palu sudah kondusif. Bisa saja kedepannya aksi serupa terulang kembali.

Semoga dengan rapat koordinasi lanjutan bisa merumuskan langkah-langkah strategis untuk menangani kejahatan jalanan di Kota Palu.

Minimal DPRD Palu bisa merancang dan menerbitkan peraturan daerah (perda) inisiatif, serta mendorong Wali Kota Palu untuk mengeluarkan Perwali, sehingga menjadi payung hukum dalam penegakan hukum secara komperhenfis.

Kita tunggu seperti apa langkah-langkah strategis yang akan diambil para pemangku dan penentu kebijakan terkait kejahatan jalanan yang meresahkan masyarakat.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *