PALU- Gempa bumi 28 September 2018 menjadi catatan sejarah tersendiri bagi masyarakat Bumi Tadulako. Tragedi yang terjadi pada senja itu, sangat membekas di sanubari.
Masih terpatri dalam ingatan, saat azan Maghrib dikumandangkan, gempa berkekuatan 7,4 skala ritcher mengguncang lembah palu. Bumi berguncang hebat. Tanah seakan terangkat dan dihempaskan ke bawah.
Tak lama berselang, gempa susulan kembali terjadi. Teriakan histeris dan lantunan Kalam Ilahi, mengumandang ke angkasa.
Terjadi kepanikan yang amat sangat pada saat itu. Suasana hiruk-pikuk. Warga berlari tunggang-langgang berusaha menyelamatkan diri.
Masyarakat tumpah ruah ke jalan. Berbondong-bondong menuju dataran yang lebih tinggi guna menghindari Tsunami.
Suasana semakin mencekam kala terputusnya aliran listrik maupun jaringan telekomunikasi telepon seluler. Sehingga kegelapan menyelimuti malam penuh duka tersebut.
Gempa bumi bermagnitudo 7,4 pada hari itu, memicu gelombang Tsunami. Hampir sepanjang teluk Palu disapu bersih oleh ombak besar. Bahkan merubuhkan satu jembatan yang merupakan icon Kota Palu.
Senja menuju malam 28 September 2018 itu semakin menyayat kalbu. Bagaimana tidak ! Pada waktu bersamaan saat gempa bumi terjadi, di dua wilayah Kota Palu, terjadi Likuefaksi. Tanah mencair dan menelan semua yang ada di permukaan. Perumnas Balaroa dan Kelurahan Petobo luluh-lantak.
Bukan hanya itu, Likuefaksi juga terjadi di Desa Sibalaya, dan Jono Oge Kabupate Sigi. Semakin menambah kepiluan bagi masyarakat Sulawesi Tengah.
Bencana alam 28 September 2018 silam, menelan korban jiwa 4.340 dan kerugian materil dan rusaknya infrastruktur bangunan ditaksir Rp.18,48 triliun.
Sejarah gempa Sesar Palu Koro
Dilansir dari CNN, pada 1 September 1927 Palu pernah diguncang gempa dengan magnitudo 6,5 skala richter (SR).
Gempa tersebut, berasal dari aktivitas tektonik Watusampu yang berpusat di Teluk Palu. Akibatnya, 14 orang meninggal dunia dan 50 orang luka-luka.
Kemudian pada 30 Januari 1930 gempa kembali mengguncang Sulawesi Tengah. Kali ini pantai barat Kabupaten Donggala, dihantam gelombang Tsunami setinggi dua meter yang berlangsung selama dua menit.
Tanggal 14 Agustus 1938, gempa kembali mengguncang dengan kekuatan 6 SR yang berpusat di Teluk Tambu, Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala.
Ketinggian Tsunami mencapai 8 hingga 10 meter, 200 korban meninggal dunia, 790 rumah rusak, seluruh desa di pesisir barat Donggala hampir tenggelam.
Pada bulan Januari 1966, Tsunami juga melibas pantai barat Donggala dan Toli-Toli. Gelombang air laut setinggi empat meter itu, menyebabkan sembilan orang meninggal dunia.
Kemudian gempa kembali mengguncang Provinsi Sulawesi Tengah sebanyak tiga kali di medio 90-an. Tepatnya dua kai pada tahun 1996, dan sekali tahun 1998.
Sulawesi Tengah kembali diguncang gempa pada 24 Januari 2005. Akibat musibah ini, 100 rumah rusak, satu orang meninggal, dan empat orang lainnya luka-luka.
Pada 17 November 2008, gempa bermagnitudo 7,7 SR yang berpusat di laut Sulawesi mengguncang Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Empat tahun kemudian, Sulawesi Tengah kembali diguncang gempa berkekuatan 6,2 SR di bulan Agustus. Gempa tersebut terjadi saat sebagian besar masyarakat sedang berbuka puasa, akibat musibah ini tiga Kecamatan terisolir dan delapan orang tewas.
Gempa yang mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah, terkait dengan patahan atau sesar Palu Koro. Sesar Palu Koro adalah patahan yang arahnya hampir ke utara bagian barat dan ke arah selatan.
Rehabilitasi dan Rekontruksi Pasca Bencana 28 September 2018
Pasca bencana alam 28 September 2018, masyarakat Sulawesi Tengah yang terdampak, mendapatkan bantuan dana Stimulan dari pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Untuk tipe rumah rusak berat sebanyak Rp.50 juta, rusak sedang Rp.25 juta. Sementara rusak ringan sebesar Rp.10 juta.
Berdasarkan keterangan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu, Presly Tampubolon, jumlah total rumah rusak yang telah mendapatkan bantuan Stimulan sebanyak 49.260 unit.
Hingga saat ini, progres pembangunan Hunian Tetap (Huntap) untuk penyintas korban bencana alam yang telah selesai dibangun, sebanyak 2067 unit. Diantaranya Tondo 1, Duyu, Balaroa, serta Huntap mandiri yang tersebar di wilayah Kota Palu.
Sementara Huntap yang masih dalam proses pembangunan sebanyak 2000 lebih unit. Yaitu di Tondo 2, Talise, Petobo dan Huntap satelit dan mandiri yang berada di Kelurahan Lere dan Panau.
Menurut Presly, terdapat kurang lebih 250 penyintas yang belum mendapatkan Huntap. Hal itu disebabkan keterlambatan dalam memasukan data kepada BPBD.
Kini, Lima tahun berselang pasca bencana, masih menyisahkan getir bagi masyarakat. Duka mereka belum sepenuhnya terobati.
Masih terdapat ratusan masyarakat penyintas bencana alam 28 September 2018 belum mendapatkan Hunian Tetap. Seperti di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu.
Semoga pemerintah daerah bisa segera mengupayakan pembangunan Huntap bagi warga penyintas bencana yang kini masih bermukim di Hunian Sementara maupun di tempat lain.
Namun tragedi 28 September itu kan tetap membekas di sanubari. Menjadi sejarah tersendiri yang akan dikisahkan kepada anak cucu.
Dari sepenggal goresan tinta di atas, mengingatkan kita akan sebuah tembang karya musikus legendaris, Ebiet G Ade. Berjudul Untuk Kita Renungkan.
“Anugrah dan bencana adalah kehendaknya. Kita mesti tabah menjalani. Hanya cambuk kecil membuat kita sadar. Adalah dia di atas segalanya. Ini bukan hukuman. Hanya satu isyarat agar kita banyak berbenah”.
Kutipan lirik lagu dari salah seorang legenda musik bumi pertiwi bergenre Ballada tersebut, seakan menyiratkan makna untuk terus berbenah diri dan berserah diri kepada Ilahi. Wallahualam bissawab.**(FN)