DAERAH  

Negara Diminta Fair Menghitung Dana Bagi Hasil Pertambangan Sulteng

Guru Besar Ekonomi Internasional FEB-Untad Palu, Dr. Moh Ahlis Djirimu, Ph. D/foto: Tribun Palu

KAREBA SULTENG, PALU- Mencuatnya keluh-kesah Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid terkait ketimpangan Dana Bagi Hasil (DBH) Sulteng, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI beberapa waktu lalu, memantik reaksi positif dari berbagai elemen masyarakat Bumi Tadulako.

Kali ini, tanggapan positif dilontarkan oleh Guru Besar Ekonomi internasional FEB-Universitas Tadulako Palu, Dr.Moh Ahlis Djirimu, Ph. D.

Ia memberikan apresiasi terhadap perjuangan Gubernur Sulteng dalam menyuarakan ketimpangan DBH pertambangan Provinsi Sulawesi Tengah.

Menurutnya, negara harus adil dalam penghitungan Dana Bagi Hasil dari sektor pertambangan yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah.

Ahlis menyarankan agar ada Independent surveyor yang melakukan pengawasan tambang di Sulawesi Tengah. Mulai dari Pit A, Pit B, Pit C, menuju ke stockpile, dan dilanjutkan ke Loading Port hingga di mulut industri.

Selain itu, praktek transfer pricing yang merugikan negara oleh investor asing dan pemburu rente, juga patut diperhatikan.

Rare Earth di semenanjung Balantak akan menjadi rebutan Amerika dan Tiongkok. UU No 3/2020 hanya mengatur mineral lainya, termasuk tanah jarang.

“Saya berharap negara fair dalam hal ini. Negara membayar independent surveyor yang menghitung ketat potensi sejak dari stock pile. Supaya fair hitungan apa yang diperoleh korporasi di Sulteng. Kekurangan sekitar 700 miliar dalam program ‘Sulteng Nambaso’ cukup jika tata kelola dan rezim regulasi ini mengatur RUU hak daerah, sebelum habis Sumber Daya Alam kita,” tulisnya melalui telepon seluler via whatsapp, Jumat (2/5/2025).

Ia menyebut jumlah DBH Provinsi Sulawesi Tengah Rp 200 milar terbilang kecil seperti yang diperoleh Papua dan Aceh. Hal disebabkan daerah tambang seperti Sulteng, Malut, Sultra, Babel, NTB, tidak memiliki UU Otsus nomor 21 tahun 2001.

“200 miliar yang dikemukakan Gubernur itu kecil. Ini juga beralasan karena provinsi tambang seperti Malut, Sultra, Sulteng, Babel, NTB, tidak seperti Papua dan Aceh yang punya UU Otsus No. 21/2001. Sehingga DBH yang mereka terima besar,” ungkapnya.

Dikutip dari Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara (DJPb) Provinsi Sulteng, Asset & Liabilities Committee (ALCo) Januari 2025, overall DBH se-Sulteng mencapai 2,88T, dengan jumlah terbesar diterima Kabupaten Banggai 778M, Provinsi Sulteng 586 M, dan Morowali 509 M. Ia menyebut poin tersebut patut direfresh.

Lebih lanjut, Ahlis mengaku sejak 10 tahun yang lalu, dirinya telah membahas poin tersebut bersama Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI. Luas laut dimasukan dalam koef cela fiskal untuk 10 Provinsi kepulauan. Namun hal itu mandeg di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

“Sejak 10 tahun yang lalu di Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, saya sudah bahas poin ini, luas laut dimasukan dalam koef cela fiskal bagi 10 prov kepulauan. Hingga saat ini RUU Kepulauan macet di Kemendagri,” akunya.**(FN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *