DAERAH  

Peran Para Cukong Nikmati Hasil PETI, Negara Rugi hingga Masyarakat Dikorbankan

Prof, Dr. Abrar Saleng/foto: screenshot

KAREBA SULTENG, PALU- Guru Besar Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, menegaskan bahwa aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) selama ini hanya menguntungkan para cukong atau pemodal, sementara para pekerja di lapangan hanya memperoleh bagian yang sangat kecil.

Menurut Prof. Abrar, keuntungan dari aktivitas PETI sebagian besar dinikmati para cukong. Sebaliknya, negara dan daerah sama sekali tidak memperoleh pemasukan. Tidak ada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang masuk, sehingga negara mengalami kerugian besar.

“Kalau terjadi masalah hukum atau kecelakaan kerja, yang dikorbankan selalu pekerja. Pekerja yang ditangkap, pekerja yang jadi korban kecelakaan, sementara cukongnya tidak pernah diproses hukum,” tegasnya.

Padahal, aktivitas tersebut sejatinya memanfaatkan aset milik negara tanpa kewajiban apa pun kepada negara.

“Ini haknya negara, asetnya negara. Tapi PETI tidak punya kewajiban apa pun, tidak ada PNBP,” ujarnya.

Selain itu, para cukong PETI juga tidak bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan. Padahal, dalam wilayah izin usaha pertambangan, pihak pemegang izinlah yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas dampak lingkungan dan sosial.

Berbeda dengan perusahaan resmi seperti PT CPM, yang memiliki kewajiban pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Kewajiban tersebut diatur melalui rekomendasi pemerintah daerah hingga peraturan daerah (Perda) yang harus dievaluasi setiap tahun.

Prof. Abrar juga mengingatkan bahwa Pasal 158 Undang-Undang Minerba secara tegas menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan atau produksi ilegal dapat dikenai denda hingga Rp100 miliar dan pidana penjara maksimal 5 tahun.

“Kalau yang melakukan rakyat kecil, pasti dia yang kena hukum. Tapi ketika ditanya, mereka sering bilang hanya disuruh. Ini yang disebut intellectuele dader, yakni dalang atau otak intelektual di balik tindak pidana. Ini yang seharusnya didalami,” jelasnya.

Karena itu, ia menegaskan bahwa penegakan hukum seharusnya dimulai dari para cukong sebagai pihak yang paling diuntungkan.

“Menurut saya, cukongnya dulu yang ditangkap,” tegas Prof. Abrar.

Ia juga menyoroti kondisi para pekerja PETI yang mempertaruhkan nyawa setiap hari. Bahkan, jika terjadi kecelakaan hingga menimbulkan korban jiwa, sering kali tidak dilaporkan karena status kegiatan yang ilegal.

“Mereka ini kasihan, nyawanya digadaikan. Kalau ada yang meninggal, tidak dilaporkan. Sementara cukong-cukongnya, yang jadi ‘bekingan’, tidak pernah terlihat, tapi merekalah yang paling menikmati hasilnya,” pungkasnya.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *