KAREBA SULTENG, PALU- Krisis air bersih akibat dampak perubahan iklim maupun ekspansi pertambangan, kerap terjadi di beberapa wilayah nusantara. Akibat krisis tersebut, berdampak pada kesehatan masyarakat.
Olehnya, anggota DPRD Kota Palu, Mutmainah Korona, menggagas program pemanfaatan dan pengelolaan air hujan untuk kebutuhan air bersih di sejumlah wilayah Palu Utara dan Tawaeli.
Menurut Neng sapaan akrabnya, gagasan tersebut berdasarkan hasil kunjungannya ke komunitas Banyu Bening di Sleman, Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Komunitas Banyu Bening merupakan pelopor gerakan pemanen air hujan di Indonesia.
“Di Sleman saya belajar bagaimana air hujan bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. Jangan hanya membahas swasembada beras. Namun perlu juga swasembada air,” ungkap Mutmainah Korona melalui telepon seluler via whats app, Selasa (14/10/2025).
Pembangunan fasilitas pengelolaan air hujan di tiga titik komunitas yaitu Pantoloan Boya, wilayah dengan angka kemiskinan dan stunting yang cukup tinggi,Lambara, sebagai pusat kegiatan warga di Teras Bermakna, dan Mamboro, kawasan yang kerap menghadapi masalah air payau.
Ketiga titik tersebut akan menjadi simpul awal uji coba sebelum diterapkan lebih luas. Selain pembangunan fasilitas pemanenan air, Sekolah Air Hujan juga berfungsi sebagai pusat edukasi masyarakat agar mampu membuat sistem pemanenan air sendiri secara swadaya.
“Pembuatan instalasinya sangat murah, cukup dengan tandon, pipa, dan alat elektrolisa. Nanti warga akan diajarkan langsung bagaimana memasangnya,” jelasnya.
Mutmainnah menambahkan Program ini mendapat dukungan dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Palu dan komunitas Banyu Bening Indonesia. Dalam waktu dekat, DPRD dan PU akan menggelar rapat teknis dan pelatihan daring (Zoom Meeting) bersama tim Banyu Bening untuk menyiapkan proses instalasi alat di lapangan.
“Insya Allah Oktober–November ini kita mulai pasang di tiga titik. Kalau semua lancar, pertengahan November sudah bisa launching, Kalau secara personal, saya juga bikin di rumah. Sebagai basis rumah tangga, saya harus mencontohkan untuk mengorganisir tetangga,” urainya.
Program ini ditujukan untuk menjawab persoalan krisis air bersih, kesehatan masyarakat, serta dampak perubahan iklim di Kota Palu.
Diuraikannya, air hujan akan diolah melalui proses penyaringan awal yang disebut islah untuk menghilangkan debu dan kotoran, lalu dilanjutkan dengan metode elektrolisa.
Proses tersebut lanjut Neng, memisahkan unsur asam dan basa, meningkatkan pH air hingga di atas 10, dan memperkecil molekul air sehingga lebih mudah diserap tubuh.
Air hasil elektrolisa tersebut diklaim baik untuk kesehatan. Banyak testimoni dari penderita penyakit berat seperti kanker dan gagal ginjal yang merasakan manfaatnya.
Namun ia menegaskan bahwa fokus utama program ini bukan hanya pada manfaat kesehatan, tetapi pada ketahanan air masyarakat.
Air hujan yang selama ini sering dianggap sebagai penyebab banjir justru dapat menjadi sumber air bersih alternatif jika dikelola dengan baik. Jika setiap rumah menampung air hujan, maka saat hujan deras, masyarakat tidak lagi khawatir banjir.**(FN)